Seorang ibu tampak sedang berkomunikasi
dengan seseorang melalui telepon genggamnya, sepertinya sedang berbicara dengan
anaknya.
“Iya
nih, ibu masih di jalan nak. Jalanannya macet banget. Padahal ibu udah pulang
agak sorean biar bisa pulang lebih awal. Eeehhh,... taunya sama aja. Malah mungkin
lebih malam dari biasanya nanti sampai rumah”
Ibu
tersebut terdiam sejenak mendengar suara
yang berada di seberang sana.
“Iya
deehh, ibu nanti telpon kalo udah di depan gang. Kamu makan aja duluan ya,
assalamu’alaikum”
Tak
lama kemudian, komunikasi mereka pun terputus. Ibu tersebut tampak sedikit
resah karena ia merasa sudah terlalu lama berada di perjalanan.
Di sudut lainnya, aku melihat seorang
bapak yang tampak gelisah. Sesekali ia menggerakkan kakinya, kemudian menatapi
jam tangannya. Saat itu ia merasa jarum jamnya bergerak terlalu cepat.
Kemudian, ia mencoba menengok keluar jendela melihat suasana di sekitar.
Setelah mengetahui situasinya, ia segera menggaruk – garuk kepala dan kembali
menatapi jam tangannya. Lalu, ia mendenguskan nafas pertanda sebuah keluhan,
“Fuuuhhhhh.....”.
Seorang anak muda berpakaian kemeja
putih dengan motif garis – garis hitam duduk dekat pintu keluar. Diantara
penumpang lainnya, pemuda ini tampak paling rapi. Rambutnya yang tertata rapi,
tangannya yang memegang sebuah tas hitam, matanya yang berkacamata serta sepatu
pantofel yang ia kenakan mencerminkan apa pekerjaannya saat ini. Setelah
menunggu cukup lama, akhirnya ia mencoba memilih alternatif lain.
“Bang
sampai di sini aja deh, nih uangnya, makasih bang”, ucap pemuda tersebut kepada
supir angkutan umum.
Sang
supir pun segera menerima selebaran uang dua ribuan dari sang pemuda.
Di luar jendela aku melihat beberapa
pengendara yang kesulitan menyalakan motornya. Beberapa juga ada yang
menuntunnya. Aku juga melihat supir angkutan umum di sebelah mobil yang aku
tumpangi sedang bertopang dagu. Kulihat penumpangnya kosong. Mungkin ia
berpikir,” Kalau macet gini, gimana mau dapat setoran banyak nih”.
Aku dan enam penumpang lainnya masih
bersabar menunggu kemacetan ini sirna. Ya, semua yang diceritakan tadi adalah
kondisi kami para penumpang yang sedang berada dalam angkutan umum menuju ke
tempat tujuan kami masing – masing. Sore itu, hujan turun cukup deras di
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Aku melakukan perjalanan dari Depok menuju
rumahku di daerah Ciledug sore itu. Saat aku pulang, hujan juga sedang
mengguyur kota Depok. Sejauh perjalananku dari Depok hingga Lebak Bulus, masih
seperti biasa. Bahkan bagiku terbilang cukup lengang karena terdapat kemacetan
berkurang di beberapa titik. Pikirku, kondisi ini terjadi karena situasi sedang
hujan sehingga orang malas berkendara.
Memasuki wilayah Deplu, Petukangan Utara
dekat wilayah Universitas Budi Luhur, keramaian kendaraan mulai terlihat.
Setelah angkutan umum yang ku tumpangi mencoba melaju ternyata terdapat banjir
yang cukup dalam di wilayah tersebut. Beberapa pengendara motor terpaksa harus
memutar balik meskipun ada juga yang nekat hingga motornya pada akhirnya tetap
harus ia tuntun. Alhamdulillah, banjir ini masih bisa dilewati oleh angkutan
umum yang ku tumpangi.
Keluar Deplu, angkutan umum yang kami
tumpangi lanjut berpetualang di jalan Ciledug Raya. Sebuah jalan yang menjadi
akses utama orang Ciledug ketika ingin berpergian dari dan ke Jakarta. Apa yang
terjadi kemudian, tak sesuai bayangan. Dalam waktu 30 menit, kami hanya mampu
menempuh beberapa meter. Kendaraan roda empat atau lebih benar – benar terjebak.
Paling – paling, kendaraan roda dua yang masih sibuk menyalip di sisi kanan dan
kiri mobil. Menurut informasi yang aku terima, ternyata banjir juga melanda
wilayah Puri Beta. Jelas sekali, bahwa akibat kejadian ini bakal ada kemacetan
panjang malam ini.
Entah siapa yang harus disalahkan, musibah
seperti ini seakan terus menghantui daerah
ibukota dan sekitarnya. Daratan yang kini dihiasi bangunan gedung yang
semakin banyak jumlahnya. Lahan hijau yang mulai menghilang. Drainase yang
buruk. Kebiasaan individu yang tak peduli. Dan berbagai faktor lainnya. Aku
tau, ini sulit. Namun aku masih yakin, ini bisa dirubah walaupun memakan waktu
yang lama.
Aku kasihan melihat ‘daratan’ yang
semakin hari hanya dijadikan sebuah tempat berpijak untuk memenuhi hasrat
individu. Aku tahu ‘daratan’ juga ingin memberi kesejukan seperti air melalui
pepohonan. Dan aku tahu, para pepohonan juga rindu akan banyaknya air yang
mampu ia serap dari air dalam tanah. Aku tau, ‘lautan’ sebenarnya hanya bingung
ke mana lagi ia harus berjalan. Kini, ia kesulitan menemukan tempat untuk
berhenti. Ia terus dan terus mengalir ke segala penjuru karena tiada tempat
yang tepat untuk disinggahi. Kami tahu ini bukan salahmu. Beri kami kesempatan
untuk mengubah ini. Kau tahu ‘lautan’, kami lebih senang melihatmu di laut
lepas sana. Kami tidak ingin melihat ‘lautan’ di ‘daratan’ kami.
“Lautan di Daratanku”
Created by Sandy S.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar anda di kolom ini !