Penulis : Tere Liye
Tebal : 318 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahukah anda mengenai film
’2012’? Ya, film tersebut menggambarkan bencana alam yang maha dahsyat yang
menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar serta kerusakan yang luar biasa
besar melanda sebagian besar permukaan bumi. Novel ‘Hujan’ karangan Tere Liye
yang akan saya ceritakan ini kurang lebih memiliki suasana seperti itu. Latar
yang dibangun oleh novel ini bernuansa bencana alam yang maha dahsyat, yakni
letusan gunung skala 8 VEI disertai dengan gempa bumi 10 SR. Bayangkan,
letusannya terdengar hingga jarak 10.000 km dengan material vulkanik yang
menyembur ke udara bersuhu hingga 5000 °C dan menyapu bersih semua kehidupan
dalam radius 200 km hanya dalam hitungan menit. Gempa yang ditimbulkan pun
mampu membuat gedung-gedung kokoh berjatuhan bahkan pada jarak 3.200 km.
Sedikit gambaran mengenai gunung
meletus yang diceritakan dalam novel ini. Gunung meletus diklasifikasikan dalam skala 0-8 VEI (volcanic explosivity index). Gunung Tambora meletus
tanggal 5 April 1815 dengan skala 7 VEI. Suara ledakannya terdengar hingga
1.200 km. Perubahan iklim pun terjadi, bahkan abu letusannya menutupi langit
hingga belahan benua lain hingga tahun tersebut dikenal sebagai tahun tanpa
musim panas. Gunung Krakatau meletus tanggal 26 Agustus 1883. Letusannya juga
terdengar hingga ribuan km, menimbulkan tsunami belasan meter, namun skalanya
masih lebih rendah dibanding Tambora, yakni 6 VEI. Letusan Gunung Toba 73.000
tahun silam merupakan contoh letusan gunung skala 8 VEI. Bayangkan, kekuatan
letusannya 100 kali lebih hebat dibanding Tambora. Abu letusannya menutup
separuh lebih permukaan bumi. Selama enam tahun bumi dilanda musim dingin
berkepanjangan. Penduduk bumi yang saat itu baru berkisar 1 juta orang, pasca
bencana hanya tersisa 10.000 orang. So, bisa dibayangkan bagaimana suasana bencana gunung meletus skala 8 VEI yang
akan menjadi latar pada novel ini.
Tokoh utamanya adalah seorang
gadis bernama Lail. Saat bencana terjadi, ia masih duduk dibangku SMP.
Kedua orang tuanya turut menjadi korban bencana tersebut. Seorang laki-laki yang
hanya berusia kira-kira dua tahun lebih tua dari dirinya menjadi sosok penting
bagi Lail karena berkat pertolongannya, Lail selamat. Laki-laki tersebut
bernama Esok. Hari-hari berikutnya, mereka pun berjuang bertahan hidup bersama di tempat penampungan menghadapi perubahan iklim dengan sumber daya terbatas. Saat kondisi membaik, keduanya
terpisah oleh jarak. Lail hidup di sebuah panti sosial yang memang disediakan
bagi anak-anak korban bencana alam, sementara Esok bernasib lebih beruntung
mengingat dirinya diangkat sebagai anak dari seorang walikota dan mendapat
kesempatan untuk meraih pendidikan yang tinggi. Jarak yang tercipta antara
keduanya, tanpa sadar menumbuhkan benih cinta di hati Lail, namun Lail cenderung
menahan perasaannya hingga Lail pun tak pernah berani untuk memulai komunikasi
terlebih dahulu. Lail pun hanya berharap Esok akan menghubunginya atau menemuinya walaupun hanya sesaat. Konflik yang dialami keduanya masih kalah besar dibanding
konflik perubahan iklim yang melanda dunia. Menurut saya, melihat usaha dan
sikap manusia untuk menghadapi perubahan iklim yang diceritakan pada novel ini menjadi poin yang lebih
menarik untuk disimak. Usaha tersebut menimbulkan hal yang justru tidak
diharapkan oleh semua pihak dan berdampak buruk bagi bumi.
Overall, novel ini masih cukup recommended
untuk dibaca. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya justru lebih
tertarik dengan latar dan situasinya yang menggambarkan bencana alam
dibandingkan dengan kisah romansa antara Lail dan Esok dimana semua hal
tersebut memiliki hubungan yang erat dengan kata ‘Hujan’ yang menjadi judul
novel ini. Epilog yang disertakan diakhir novel ini memperjelas pesan yang
ingin disampaikan penulis. Berikut beberapa kutipan kata menarik dari novel
ini.
“Jangan pernah jatuh cinta saat
hujan, Lail. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun,
kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu.”
“Kamu tahu kenapa kita mengenang banyak hal ketika hujan turun? Karena kenangan
sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya.
Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa
ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya."
“Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati
kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu
adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada
misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa
kedamaian."
"Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu
pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis,
sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin
paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang
memiliki. Jadi kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena
kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta."
"Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang
bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak
bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan."