Minggu, 10 April 2016

HUJAN (Review)


Penulis : Tere Liye
Tebal : 318 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Rp 61.200,00 via Bukukita.com atau Rp 57.800,00 via Gramedia.com

Tahukah anda mengenai film ’2012’? Ya, film tersebut menggambarkan bencana alam yang maha dahsyat yang menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar serta kerusakan yang luar biasa besar melanda sebagian besar permukaan bumi. Novel ‘Hujan’ karangan Tere Liye yang akan saya ceritakan ini kurang lebih memiliki suasana seperti itu. Latar yang dibangun oleh novel ini bernuansa bencana alam yang maha dahsyat, yakni letusan gunung skala 8 VEI disertai dengan gempa bumi 10 SR. Bayangkan, letusannya terdengar hingga jarak 10.000 km dengan material vulkanik yang menyembur ke udara bersuhu hingga 5000 °C dan menyapu bersih semua kehidupan dalam radius 200 km hanya dalam hitungan menit. Gempa yang ditimbulkan pun mampu membuat gedung-gedung kokoh berjatuhan bahkan pada jarak 3.200 km.

Sedikit gambaran mengenai gunung meletus yang diceritakan dalam novel ini. Gunung meletus diklasifikasikan dalam skala 0-8 VEI (volcanic explosivity index). Gunung Tambora meletus tanggal 5 April 1815 dengan skala 7 VEI. Suara ledakannya terdengar hingga 1.200 km. Perubahan iklim pun terjadi, bahkan abu letusannya menutupi langit hingga belahan benua lain hingga tahun tersebut dikenal sebagai tahun tanpa musim panas. Gunung Krakatau meletus tanggal 26 Agustus 1883. Letusannya juga terdengar hingga ribuan km, menimbulkan tsunami belasan meter, namun skalanya masih lebih rendah dibanding Tambora, yakni 6 VEI. Letusan Gunung Toba 73.000 tahun silam merupakan contoh letusan gunung skala 8 VEI. Bayangkan, kekuatan letusannya 100 kali lebih hebat dibanding Tambora. Abu letusannya menutup separuh lebih permukaan bumi. Selama enam tahun bumi dilanda musim dingin berkepanjangan. Penduduk bumi yang saat itu baru berkisar 1 juta orang, pasca bencana hanya tersisa 10.000 orang. So, bisa dibayangkan bagaimana suasana bencana gunung meletus skala 8 VEI yang akan menjadi latar pada novel ini.

Tokoh utamanya adalah seorang gadis bernama Lail. Saat bencana terjadi, ia masih duduk dibangku SMP. Kedua orang tuanya turut menjadi korban bencana tersebut. Seorang laki-laki yang hanya berusia kira-kira dua tahun lebih tua dari dirinya menjadi sosok penting bagi Lail karena berkat pertolongannya, Lail selamat. Laki-laki tersebut bernama Esok. Hari-hari berikutnya, mereka pun berjuang bertahan hidup bersama di tempat penampungan menghadapi perubahan iklim dengan sumber daya terbatas. Saat kondisi membaik, keduanya terpisah oleh jarak. Lail hidup di sebuah panti sosial yang memang disediakan bagi anak-anak korban bencana alam, sementara Esok bernasib lebih beruntung mengingat dirinya diangkat sebagai anak dari seorang walikota dan mendapat kesempatan untuk meraih pendidikan yang tinggi. Jarak yang tercipta antara keduanya, tanpa sadar menumbuhkan benih cinta di hati Lail, namun Lail cenderung menahan perasaannya hingga Lail pun tak pernah berani untuk memulai komunikasi terlebih dahulu. Lail pun hanya berharap Esok akan menghubunginya atau menemuinya walaupun hanya sesaat. Konflik yang dialami keduanya masih kalah besar dibanding konflik perubahan iklim yang melanda dunia. Menurut saya, melihat usaha dan sikap manusia untuk menghadapi perubahan iklim yang diceritakan pada novel ini menjadi poin yang lebih menarik untuk disimak. Usaha tersebut menimbulkan hal yang justru tidak diharapkan oleh semua pihak dan berdampak buruk bagi bumi.

Overall, novel ini masih cukup recommended untuk dibaca. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya justru lebih tertarik dengan latar dan situasinya yang menggambarkan bencana alam dibandingkan dengan kisah romansa antara Lail dan Esok dimana semua hal tersebut memiliki hubungan yang erat dengan kata ‘Hujan’ yang menjadi judul novel ini. Epilog yang disertakan diakhir novel ini memperjelas pesan yang ingin disampaikan penulis. Berikut beberapa kutipan kata menarik dari novel ini.

 “Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, Lail. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu.”

“Kamu tahu kenapa kita mengenang banyak hal ketika hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya."

“Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian."

"Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta."

"Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan."

1 komentar:

  1. Jarang juga ya novel bertema bencana alam, biasanya tema cinta terus

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar anda di kolom ini !